Identifikasi OECMs Berbasis Masyarakat Adat Di Pulau Gorom, Seram Bagian Timur Provinsi Maluku
cfi-indonesia.id. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus mendorong perluasan kawasan konservasi di Indonesia. Salah satunya melalui potensi Other Effective Conservation Measures (OECMs) WPPNRI 715,717, dan 718 melalui fasilitasi pendanaan hibah Program Coastal Fisheries Initiative – Indonesia Child Project (CFI-ICP), GEF 6 “The Ecosystem Approach to Fisheries Management In Eastern Indonesia Fisheries Management Area 715, 717 & 718)”.
CFI Indonesia mengembangkan konsep Sasi Co-Management dan Sasi Label sebagai Best Practices. Konsepsi Sasi Co-Management berawal dari eksistensi kearifan lokal Sasi di Indoensia Bagian Timur sebagai ajaran leluhur digunakan untuk mengenalkan instrument EAFM dalam pengelolaan sumberdaya ikan secara berkelanjutan. Intervensi pengembangan konsepsi ini melalui penguatan capacity building pengelola sasi, selam dan pemetaan (GPS), menetapkan Masyarakat Hukum Adat (MHA), mengusulkan area Sasi yang telah ditetapkan menjadi cadangan Kawasan konservasi melalui skema OECM, untuk mendukung perluasan Kawasan konservasi. Sasi Co-Management telah dikembangkan di lokasi program CFI Indonesia di WPP 715, 717 & 718 termasuk di Kabupaten Seram Bagian Timur Provinsi Maluku.
Kegiatan Survey dan Konsultasi Masyarakat untuk penentuan wilayah adat dalam rangka Identifikasi Potensi OECMs di Gorom Kabupaten Seram Bagian Timur
OECMs merupakan suatu wilayah yang dikelola untuk mencapai tujuan konservasi berupa perlindungan jenis biota tertentu atau suata kawasan tertentu yang ditetapkan secara geografis dan berada di luar kawasan konservasi. Pengelolaan OECMs, bisa dilakukan oleh Masyarakat adat atau lembaga yang tidak mempunyai tusi khusus dalam pengelolaan kawasan konservasi, seperti pemerintah desa atau bahkan perusahaan swasta juga dapat berkontribusi dalam pengelolaan OECMs.
Salah satu implementasi OECMs di Propinsi Maluku adalah Sasi, sebagai bentuk budaya adat yang berlaku dan mempunyai tujuan untuk konservasi. Namun demikian selain Sasi, Masyarakat Maluku mempunyai kearifan lokal lainnya untuk melindungi sumber daya alam di sekitarnya. Sebagai contoh adalah pengelolaan wilayah pertuanan adat di Pulau Gorom Kabupaten Seram Bagian Timur, yang ditujukan untuk melindungi berbagai sumberdaya laut.
Hasil pengamatan tim Pusat Riset Konservasi Perairan Laut dan Perairan darat BRIN pada Mei 2025 menunjukkan bahwa Sebagian besar Masyarakat adat di Pulau Gorom menerapkan batas wilayah adat untuk pengelolaan sumber daya teripang dan lola. Umumnya masyarakat adat di Pulau Gorom tidak melakukan penangkapan teripang dan lola, mereka sangat membatasi penangkapan kedua kelompok sumber daya ini melalui kesepakatan adat antar masayarakat dan tetua adat atau Raja. Penangkapan teripang dan lola biasanya dilakukan apabila ada kebutuhan dana untuk kepentingan umum seperti membangun masjid, memperbaiki jalan atau kantor desa.
Teripang yang ditemukan di lokasi penelitian Perairan Gorom Kabupaten Seram Bagian Timur - Maluku
Menurut Raja negeri Desa Amarwatu Malikudin Rumakway penangkapan teripang biasanya dilakukan oleh nelayan pendatang bukan oleh Masyarakat desa Amarwatu namun demikian nelayan pendatang hanya diperkenankan untuk menangkap teripang di wilayah perairan pertuanan adat jika mendapatkan ijin dari Desa atau dari tetua Adat. Wilayah pertuanan adat didefinisikan sebagai wilayah perairan laut dengan batas antara desa adat (bukan batas desa administratif) sedangkan batas perairannya dimulai dari tepi pantai hingga tubir terluar (air biru).
Masing-masing desa di Pulau Gorom memiliki peraturan yang berbeda-beda, namun secara umum semua desa memiliki batas wilayah adat dan terdapat pembatasan untuk menangkap teripang dan lola. Dalam pelaksanaan aturan pembatasan ini Masyarakat adat secara mandiri melakukan pengawasan terhadap pelaku penangkapan tanpa ijin atau nelayan luar yang datang untuk menangkap. Hasil wawancara dengan tokoh-tokoh adat di 8 desa menunjukkan beragam jenis sangsi yang diterapkan bagi pelanggar aturan, seperti angkut batu, angkut pasir dari laut ke darat yang nantinya akan digunakan untuk kepentingan umum, membersihkan fasilitas umum dan atau membayar denda.
Wawancara Raja Negeri Ondor Tentang Praktek Sasi di Desanya
Selain pengelolaan wilayah adat untuk perlindungan teripang dan lola, di Pulau Gorom terdapat 3 desa yang menerapkan sasi, yaitu Desa Kataloka dan Desa Ondor melakukan sasi jaring untuk menangkap ikan kawalinya (Herklotsichthys quadrimaculatus) Dalam penjelasannya Raja Ondor Amiun Nursali Diun menyampaikan bahwa Sasi jaring ikan bertujuan untuk mencegah penangkapan ikan di sekitar area Pelabuhan. Desa adat Kataloka juga memberlakukan sasi jaring di sekitar pelabuhan Kataloka, khususnya pelarangan penggunaan jaring untuk menangkap ikan kawalinya dalam radius 50 meter dari pelabuhan. Menurut Raja Kataloka, sasi ikan kawalinya dimulai dari tradisi leluhur yang diyakini mampu "menarik" ikan kawalinya ke area pelabuhan, sehingga ikan tersebut tidak boleh ditangkap kecuali dalam acara adat. Dalam hal ini area Pelabuhan menjadi area “pamali” bagi warga untuk menangkap ikan tersebut.
Selain di Desa Ondor dan Kataloka, Masyarakat adat Desa Namalean memberlakukan sasi batu dengan membangun struktur bronjong menggunakan batu. Sasi batu dibuat untuk melarang Masyarakat mengangkut batu karang baik yang masih hidup maupun yang sudah mati ke darat untuk digunakan bagi berbagai macam keperluan termsuk membangun rumah Sebagian besar masyarakat Pulau Gorom masih menggunakan batu karang sebagi pondasi rumah mereka, hal ini menyebabkan terjadinya penambangan batu karang. Masyarakat Desa Namalean menyadari bahwa penambangan batu karang ternyata dapat merubah ekosistem Pantai di depan desa mereka, sehingga dengan kesadaran penuh, Masyarakat adat desa Namalean telah memberlakukan sasi batu secara turun temurun.
Pengelolaan ekosistem laut berbasis wilayah adat ini menunjukkan hasil yang baik untuk melindungi sumber daya laut di sekitar periaran Pulau Gorom. Hasil observasi kondisi ekosistem pesisir, menunjukkan kondisi lingkungan perairan yang baik dan sehat salah satunya ditunjukkan oleh persen tutupan lamun yang masuk dalam kategori padat dengan rata-rata 58% di 4 lokasi pengamatan yaitu Desa Rarat (60,45%), Desa Namalean (66,64%), Desa Kataloka (40,24%) dan Desa Amarwatu (64,61%). Tutupan terumbu karang di sekitar perairan Pulau Gorom menunjukkan rata-rata tutupan karang bervariasi mulai dari kategori buruk hingga tinggi dimana kondisi terumbu karang tersehat ditemukan di periaran Desa Amarwatu. Dari seluruh perairan pulau Gorom hasil observasi sementara menemukan 7 jenis lamun dan lebih dari 12 jenis teripang bernilai ekonomis.
Dokumentasi Hasil Survey Tutupan terumbu karang di Pulau Gorom
Mengacu pada ketentuan OECMs, pengelolaan perairan wilayah adat Pulau Gorom, berpotensi untuk masuk ke dalam kategori OECMs, karena di wilayah adat ini ada batasan area yang jelas secara geografis, ada pembatasan penangkapan yang bertujuan untuk konservasi jenis teripang, lola, ikan dan terumbu karang serta unsur pengelola kawasan walaupun tidak ada aturan secara tertulis terkait pengelolaan kawasan adat untuk perlindungan sumber daya laut. Untuk meningkatkan peran Masyarakat adat dalam upaya pengembangan Sasi Co-Management di Pulau Gorom, diperlukan dukungan berbagai pihak agar pengelolaan berbasis Masyarakat ini dapat berkelanjutan dan dapat diakui sebagai OECMs, salah satunya melalui pengukuhan Masyarakat hukum adat.
0 COMMENTS