Sasi Label dan Sasi Co-Management
cfi-indonesia.id. Hawear salah satu warisan budaya lokal yang menjadi tradisi turun temurun yang diwariskan oleh para leluhur dalam menjaga alam agar tetap lestari. Mungkin anda baru membaca atau mendengar Hawear, namun Hawear ini adalah istilah Sasi (Yot atau Yotut) bagi masyarakat di Kepulauan Kei (Evav) khususnya di Pulau Kei Besar (Nuhu Yuut) Kabupaten Maluku Tenggara Provinsi Maluku. Seperti Sasi pada umumnya di Maluku dan Papua Barat, Hawear merupakan salah satu mekanisme pengelolaan sumberdaya alam yang disepakati oleh masyarakat adat untuk tidak mengambil hasil alamnya yang ditentukan di suatu kawasan adat dalam jangka waktu tertentu hingga ritual pembukaan sasi tiba. Hal ini juga berlaku di wilayah pesisir dan laut dalam hal penangkapan sumberdaya ikan dan penambangan pasir maupun material lainnya.
Hawear memiliki sejarah panjang yang sangat erat dalam kehidupan para leluhur orang Kei. Salah pencetus Hawear adalah seorang Perempuan Bangsawan bernama Nen Dit Sakmas. Aturan pengelolaan sumberdaya alam ini meiliki hubungan erat dengan terbentuknya hukum adat larvul ngabal yang menjadi pedoman hidup orang Kei pada umumnya. Wajar saja Hawear dan hukum larvul ngabal sangat dihormati dan dijunjung tinggi oleh orang Kei.
Hawear memiliki peranan penting dalam pengelolaan perikanan berbasis eksosistem (EAFM) di Maluku Tenggara yang merupakan salah satu lokasi kegiatan GEF-6 CFI Indonesia. Upaya meningkatkan peran Hawear di Maluku Tenggara masuk dalam agenda kegiatan GEF-6. Pada Tahun ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bekerjasama dengan Dinas Perikanan setempat akan melaksanakan kegiatan revitalisasi kearifan lokal (sasi) dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. Kegiatan ini dimaksud untuk memperkuat praktek sasi sebagai nilai budaya kearifan lokal di Maluku Tenggara dalam perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir. Salah tujuan yang diharapakan dari kegiatan revitaliasi adalah memperkuat kelembagaan dan kapasitas SDM masyarakat hukum adat sasi di Maluku Tenggara.
Simbol Hawear menurut cerita salah satu tokoh adat masyarakat di Kepulauan Kei Besar Djud Raharusun (wakil Badan Saniri Ada Ohoi/Desa Wakidat) bentuknya seperti Anyaman daun Kelapa Muda (Janur Kuning). Setiap anyaman tersebut memiliki beragam arti “Simbol Larangan” bertujuan untuk menjaga kelestarian hidup mahluk hidup dan ekosistem disekitarnya baik itu kawasan perairan laut dan pantai maupun di kawasan darat. Tujuan utamanya untuk menjaga dan melindungi hak kepemilikan seseorang atau bahkan hak milik komunitas yang ditandai dengan Janur Kuning. Pembuatan dan menancapan Simbol Hawear Janur kuning dilakukan secara ritual melibatkan tokoh-tokoh adat yang terpercaya di kampungnya.
Sebuah ritual adat dalam memasang Hawear pada suatu tempat untuk menandai kepemilikan seseorang biasanya di percayakan kepada seorang Tuan Tanah Kampung. Orang tersebut yang akan memegang ‘Sirih Pinang’untuk melakukan setiap prosessi adat pemasangan Hawear. Prosesi ritual ini sendiri menggunakan bahasa adat (bahasa tanah) orang Kei. Pemasangannya bersamaan dengan meletakan sirih pinang dan juga biasanya ditutup dengan Doa.
Durasi pamasangan Hawear sebagai tanda tutup sasi dijelaskan oleh Djud biasa berlangsung kurang lebih setahun. Tidak ada aktivitas pemanfataan sumberdaya alam termasuk penangkapan ikan di kawasan tersebut. Hawear akan dilepas (dicabut) menandakan sasi telah dibuka. Proses buka Hawear (sasi) tetap melalui proses ritual adat seperti saat tutup (pemasangan Hawear) dilakukan oleh Tuan Tanah Kampung setempat. Dengan dilepasnya Hawear berarti masyarakat telah diijinkan untuk melakukan penangkapan ikan di kawasan sasi tersebut.
Hawear menjadi kekuatan hukum adat yang mengikat warganya, sehingga kepatuhan tersebut mampu menjaga sumber daya laut dan ekosistemnya. Aturan hukum adat hawear yang telah dimusyawarahkan mengikat setiap orang dan keputusannya melembaga. Artinya seluruh keputusan memiliki dasar hukum dan wajib untuk ditaati seluruh pihak. Musyawarah dilakukan oleh kepala ohoi dan perangkat, Badan Saniri Oho (BSO) dibantu Badan Saniri Adat (BSA), para tokoh adat, tokoh perempuan, pihak gereja/masjid dan masyarakat umum.
Menurut Djud, Hawear memiliki beragam sanksi bagi pelaku yang sengaja melakukan pelanggaran. Masyarakat yang menangkap ikan di kawasan yang di dilarang dengan Hawear biasanya akan di denda adat sebagai bentuk sanksi. Salah satu denda adat yang sering diterapkan adalah berupa pembayaran Lela (Meriam Peninggalan Portugis) dan uang dengan jumlah dan nilai yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama. Lela itu sendiri adalah Lela ini meruapakan salah satu Harta Kawin (Mas Kawin) di Kei. Saat ini Lela sulit untuk dicari sehingga jika disetarakan dengan nominal rupiah berkisar antara Rp. 15 - 20 Juta per buah. Pemilihan Lela sebagai bentuk konsekwensi sanksi bukan sekedar nilai harta, tapi makna terdalam bahwa bagi pelaku pelanggar menghargai aturan adat. Lebih jauh, Sanksi keras bertujuan menimbulkan efek jerah kepada para pelaku pelanggar.
Meskipun aturan sanksi terkesan keras, namun Keberadaan Hawear termasuk Sasi di Maluku menciptakan keadilan sosial, ekonomi, dan ekologi, serta berperan dalam pencegahan dampak dampak dampak negatif. Djud Raharusun dan Masyarakat di Kepuluan Kei sadar bahwa imbas dari penerapan sasi adalah terjaminnya keberlanjutan sumberdaya kelautan. Sasi juga penting bagi nilai-nilai (values), hak (right), kelembagaan (institutional) masyarakat lokal (adat) yang melekat didalamnya.
Kehadiran GEF-6 CFI Indonesia di Pulau Kei Besar Kabupaten Maluku Tenggara Provinsi Maluku yang merupakan salah satu pulau terluar negara yang berbatasan dengan Negara Australia, dapat mendorong revitalisasi hawear atau sasi atau Yot sebutan di pulau tersebut. Masyarakat setempat berkeinginan mempertahakan budaya adat tersebut yang dianggap mampu menyalamatkan kekayaan sumberdaya lautnya. ”Kiranya budaya Hawear perlu dipertahankan demi kelangsungan hidup kita bersama mahluk hidup lainnya dan lingkungannya demi kehidupan generasi mendatang karena Hawear adalah salah satu simbol kehidupan budaya orang Kei yang diwariskan para leluhur kita” Harapan Djud Raharusun.
Gagasan terbaru dari GEF-6 CFI Indonesia terkait Sasi adalah inisiai ‘Sasi Label’. Mirip dengan konsep ecolabelling lainnya ‘Sasi Label’ dimaksudkan sebagai upaya mendukung kebijakan perikanan tangkap yang berkelanjutan dengan menekan dampak negatif terhadap ekosistem dan juga mendorong manfaat positif bagi masyarakat adat pesisir. ‘Sasi Label’ berperan memberikan label untuk komoditi dan produk keluaran dari kawasan sasi agar memiliki nilai tambah ekonomi dan memotivasi serta mengerakan masyarakat untuk tetap mengelola perikanan dengan pendekatan ekosistem dan berkelanjutan.
Konsep awal ‘Sasi Label’ sejatinya telah disiapkan oleh tim GEF-6 CFI Indonesia. Dr. Adipati Rahmat Gumelar selaku Manager PMU GEF-6 CFI Indonesia menyampaikan bahwa rebranding ‘Sasi Label’ sangat diperlukan untuk menciptakan kepercayaan dan impresi baru terhadap produk perikanan yang terlindungi oleh kegiatan Sasi. Lebih lanjut Adipati menegaskan bahwa rebranding ini diperlukan karena produk perikanan di kampung-kampung pesisir pada saat ini belum dilihat sebagai produk yang berbeda dengan produk sejenis, walaupun dihasilkan dari wilayah perlindungan ekosistem yang sangat baik, seperti Sasi.
Sasi merupakan ajaran leluhur dalam mengelola sumberdaya pesisir secara berkelanjutan. Co-Management dimaksudkan sebagai upaya menempatkan masyarakat dan pemerintah daerah dalam pusat pengelolaan sumberdaya pesisir. Melalui Project GEF6, masyarakat dan pemerintah daerah dilatih menyelam untuk mengetahui potensi sumberdaya pesisirnya, dilatih Sistem Informasi Geografis agar mampu memetakan batas wilayah sasi, sebaran potensi sumberdaya, dan titik selam, serta dikukuhkan wilayah sasinya melalui upaya revitalisasi masyarakat hukum adat. GEF-6 akan terus mendorong upaya pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem melibatkan berbagai pihak terkait agar mencapai tujuan project termasuk menghidupkan peran Hawear, Sasi, ngam, Kadup dan model model praktek sejenisnya sebagai salah satu instrument pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan di Indonesia.(AT)
0 COMMENTS