Bunyi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pasal 119
- 1.DBH sumber daya alam perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (3) huruf e ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) dari penerimaan pungutan pengusahaan perikanan dan penerimaan pungutan hasil perikanan.
- 2 DBH sumber daya alam perikanan untuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagikan kepada kabupaten/kota di seluruh Indonesia dan Daerah provinsi yang tidak terbagi dalam Daerah kabupaten/kota otonom dengan mempertimbangkan luas wilayah laut.
cfi-indonesia.id. Kementerian Kelautan dan Perikanan memfasilitasi diskusi Pembahasan Tata Kelola Dana Bagi Hasil (DBH), Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Retribusi Daerah Subsektor Perikanan Tangkap. Kegiatan yang difasilitasi melalui pendanaan hibah GEF 6 CFI Indonesia ini diselenggarakan di Jakarta secara hybrid membahas tiga issu besar yakni DBH Sumberdaya Perikanan, PNBP Pasca Produksi dan Retribusi Jasa Lelang Ikan di daerah. (16/05)
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, pada Pasal 119, menetapkan DBH sumberdaya perikanan untuk daerah sebesar 80% dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh Kabupaten/Kota. Kalau dilihat dari regulasi tersebut, bahwa 80% dibagi rata ke seluruh daerah di seluruh Indonesia, maka tentunya hal ini menjadi pertanyaan bagi daerah daerah penghasil atau daerah yang sumberdaya perikanan menjadinya tumpuan utama penopang pendapatan asli daerah, dalam tanda kutip merasa dirugikan. Begitupula dengan Pembagian DBH Sumberdaya Perikanan hanya diperuntukan bagi Kabupaten/Kota, Provinsi tidak mendapat porsi. Hal ini juga mendapat pertanyaan dari Pemerintah Provinsi terutama Dinas Kelautan dan Perikanan yang merasa memiliki banyak kewajiban terhadap pengelolaan ruang laut dan sumberdayanya, namun nihil pendapatan kontirbusi DBH.
Pembukaan Kegiatan Diskusi Tata Kelola Dana Bagi Hasil (DBH), Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Retribusi Daerah Subsektor Perikanan Tangkap oleh Direktur Perijinan dan Kenelayanan DJPT-KKP Ukon Ahmad Furkon bersama Asisten Khusus Menteri Bidang Publikasi Program Penangkapan Ikan Terukur Muhammad Abdi (Jakarta, 16/05/24)
Kegiatan Diskusi DBH, PNBP sumberdaya perikanan dan retribusi jasa lelang ikan diawali sambutan dari Direktur Perijinan dan Kenelayanan (PDK) Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) KKP Ukon Ahmad Furkon. Dalam arahannya, Ukon menyinggung upaya KKP sedang melakukan transformasi tata kelola perikanan tangkap di Indonesia yang memastikan Penangkapan Ikan Terukur dapat terlaksana. “Substansinya adalah dimana kita ingin memperbaiki ruang tata kelola baik itu aturannya, implementasi dilapangan ataupun yang berhubungan dengan sarana dan prasarana” ungkap Ukon. Lebih lanjut Ukon menjelaskan secara filosofis KKP ingin memastikan bahwa Sumber Daya Ikan merupakan bagian dari sumber daya alam kekayaan negeri ini, kekayaan seluruh masyarakat Indonesia dan sesuai dengan amanat UUD 1945 khususnya pasal 33 ayat 3 bahwa negara yang direpresentatifkan oleh pemerintah diberikan kewenangan untuk mengelola agar kemanfaatan dari sumberdaya tersebut bisa dirasakan oleh seluruh masyarakat. “Salah satu diantaranya adalah penarikan pungutan oleh negara kemudian pungutan yang masuk dalam kas negara baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, tentu saja hasilnya digunakan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat” tegas Ukon.
Pada kesempatan yang sama Direktur PDK juga ikut menyinggung penarikan pungutan pasca produksi di sub suktor perikanan tangkap. Menurutnya, mulai 1 Januari 2023 penarikan PNBP berubah mekanismenya menjadi pasca produksi artinya pada saat izin dikeluarkan. “Implementasi dari PP nomor 85 tahun 2023 bahwa memang tidak ada pungutan sama sekali di depan, Kemudian pungutan itu baru ditarik setelah pelaku usaha telah melakukan usaha penangkapan ikan dan setiap tripnya mengeksploitasi sumber daya atau setiap volume produksi itu baru negara menarik hutangnya dari setiap trip penangkapan ikan. Jadi kurang lebih itu rumusnya adalah indeks tarif dikalikan dengan hasil produksi dikalikan dengan harga jual ikan.” Urai Ukon.
Ukon juga menambahkan issu DBH khususnya untuk perikanan. Menurutnya saat ini perlu mempertimbangkan banyak aspek, termasuk keadilan bagi Provinsi dan Kabupaten/Kota yang memang memberikan kontribusi lebih terhadap PNBP, mungkin DBH dapat lebih besar. Kemudian posisi saat ini DBH langsung diberikan kepada Kabupaten/Kota, belum ke provinsi. Padahal penggunaan tata kelola perikanan saat ini adanya di pusat dan di provinsi dimana di atas 12 mil ada di pusat dan di bawah 12 mil ada di provinsi. “memungkinkan tidak yang berikutnya provinsi juga mendapatkan Dana Bagi Hasil dari PNBP sumber daya perikanan” ungkap Ukon.
Issu lainnya yang disinggung Ukon adalah retribusi daerah dari jasa lelang ikan. Penarikan retribusi oleh Dinas Perikanan Kabupaten/Kota atas fasilitas yang dibangun pemerintah daerah dalam bentuk Tempat Pelelangan Ikan (TPI), kemudian Pemerintah Daerah melakukan proses lelang. Dari proses lelang yang dilakukan tersebut akan ditarik ke retribusinya. Menurut Ukon, ada problemnya, ketika pemerintah daerah kabupaten/kota melakukan retribusi jasa lelang ikan adalah restribusi atas pemanfaatan atau ekploitasi sumber daya ikan sebagaimana yang dilakukan untuk penarikan PNBP pasca produksi. “Seolah-olah ada dualism atau duplikasi dimana pemerintah pusat untuk kapal-kapal yang izinnya dikeluarkan oleh pusat, menarik PNBP sesuai rumus tadi dan kemudian Ketika ikan itu mendarat, sebagian Pemda melakukan penarikan retribusi juga dengan rumus yang kurang lebih sama persentase dikalikan volume” tegas Ukon.
Asisten Khusus Menteri Bidang Publikasi Program Penangkapan Ikan Terukur Muhammad Abdi menyampaikan arahan pada Kegiatan Diskusi Tata Kelola Dana Bagi Hasil (DBH), Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Retribusi Daerah Subsektor Perikanan Tangkap (Jakarta, 16/05/24)
Asisten Khusus Menteri Bidang Publikasi Program Penangkapan Ikan Terukur Muhammad Abdi menjadi salah satu keynotespeaker pada diskusi ini. Menurutnya kegiatan diskusi ini sangat strategis dan penting untuk dilaksanakan. “Perlu kami sampaikan bahwa acara ini merupakan respon KKP melihat dinamika dari masyarakat terutama adanya suara-suara kritis dari daerah yang senantiasa mempertanyakan proses dan mekanisme dana bagi hasil dan juga PNBP” ungkap Abdi. Selain itu, KKP juga mendapatkan surat dari Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan atas hasil pemantauan terhadap pengelolaan PNBP khususnya sektor sumber daya alam perikanan dengan memberikan 11 rekomendasi. “Salah satunya adalah KKP diminta melakukan kajian atau telaah tentang pemanfaatan dana bagi hasil perikanan untuk pembangunan atau pemeliharaan sarana dan prasarana Pelabuhan” lanjut Abdi.
Pada kesempatan yang sama, Abdi memaparkan tantangan tata kelola perikanan nasional. Menurutnya, Indonesia memiliki keanekaragaman ikan yang tinggi dan dihadapkan pada harga ikan antar provinsi dan antar Pelabuhan juga berbeda. “Variabel itu yang perlu dirumuskan sehingga ditemukan harga yang cocok yang pas dan berkeadilan bagi semua pihak” jelas Abdi. Ia juga mengambarkan kondisi Pelabuhan Nasional, dari 1000 pelabuhan yang didata, hanya sekitar 400-500 yang layak beroperasi.
Pelabuhan perikanan dari PPS, PPP dan PPI yang paling banyak dan mayoritas ini tidak optimal pemanfaatannya. “Dari 500 itu program Penangkapan Ikan Terukur (PIT) KKP telah menetapkan 170 atau 180 pelabuhan yang menurut kenelayanan itu layak secara ideal adanya” ungkap Abdi. Lebih lanjut Abdi menjelaskan, hal yang unik disini adalah dari 170 pelabuhan tersebut setelah dimonitor dalam empat bulan ini, perolehan PNPB terbesar dari 10 besar Pelabuhan itu adalah 5 pelabuhan milik daerah. “Artinya, lagi-lagi kita dihadapkan pada rentang kendali, dimana Pelabuhan yang berkontribusi terhadap PNBP tersebut dikendalikan oleh daerah dimana kapal kapal pusat mendarat disitu” tegas Abdi.
Narasumber Kegiatan Diksusi Tata Kelola Dana Bagi Hasil (DBH), Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Retribusi Daerah Subsektor Perikanan Tangkap (Jakarta, 16/05/24)
Diskusi yang berlangsung selama sehari tersebut diikuti lebih dari 150 orang baik secara luring maupun during. Melibatkan narasumber berkompeten dari berbagai stakeholder pemerintah pusat dan daerah serta akademisi. Pemerintah Pusat diwakili oleh Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Pendapatan Daerah Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah; Kementerian Keuangan melalui Direktur Dana Trasfer Umum Direktorat Jenderal Perimbangan keuangan, Direktorat PNBP SDA dan KND Direktorat Jenderal Anggaran, Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Pemerintah Daerah diwakili oleh Bappeda Jawa Tengah, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Dinas Perikanan Kabupaten Maluku Tengah. Juga melibatkan tim ahli dari IPB University dan Universitas Indonesia.
Terkait Diksusi DBH, PNBP dan retribusi jasa lelang ikan, pandangan Tim Ahli dari IPB University, Ahmad Solihin berpendapat meskipun pemerintah provinsi memberikan layanan perizinan berusaha untuk kapal-kapal ikan di bawah 30 GT yang hanya beroperasi di bawah 12 mil laut. Akan tetapi, pemerintah pusat menggantikannya dengan DBH. Menurutnya, DBH adalah bagian dari transfer ke daerah yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dan kinerja tertentu, yang dibagikan kepada Daerah penghasil dengan tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara Pemerintah dan Daerah, serta kepada Daerah lain non penghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah.
Beberapa catatan penting dari diksusi ini adalah pertama penyusunan pedoman atau petunjuk teknis. Kementerian Keuangan diharapkan menyusun pedoman atau petunjukan teknis yang berisikan tentang alur pungutan PNBP pada Bidang Perikanan, utamanya sektor perikanan tangkap sebagai bagian dari pemanfaatan sumber daya alam. Dengan demikian, pedoman atau petunjuk teknis tersebut diharapkan mendukung Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam melaksanakan pembangunan perikanan di daerah. Kemudian, selaku pihak yang diberikan amanat oleh UU No 23 Tahun 2014, maka Kementerian Dalam Negeri perlu melakukan penyusunan pedoman atau petunjuk teknis penggunaan keuangan daerah yang bersumber dari pemanfaatan sumber daya perikanan.
Kedua Pungutan retribusi yang bersumber dari pelayanan TPI selama ini hanya menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota, namun tempatnya berada di wilayah pelabuhan yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Untuk mengatasi hal ini diperlukan kerjasama antar daerah (KAD) antara Gubernur dengan Bupati/Walikota yang dituangkan dalam nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) dalam hal penyelenggaraan dan pengelolaan TPI, termasuk pembiayaan dan bagi hasil didalamnya.
0 COMMENTS