728 x 90

KKP MENDORONG PENGATURAN PENGELOLAAN TELUR IKAN TERBANG BERKELANJUTAN

JAKARTA, 18 November 2022. Sumber daya alam yang di miliki Indonesia khususnya di kawasan timur Indonesia banyak memiliki nilai ekonomis tinggi. Salah satunya komoditi telur ikan terbang yang kini sudah merambah pasar Eropa dan Asia. Tingginya permintaan telur ikan terbang, terkait tren kuliner yang kini di gemari oleh negara – negara Eropa dan Asia. Harga telur ikan terbangpun terus meningkat setiap tahunnya dan saat ini mencapai lebih dari Rp500.000 perkilogram di tingkat nelayan. Meskipun status penangkapan telur ikan terbang belum sepenuhnya diatur tata kelolanya, aktivitas penangkapan makin massif.  Regulasi yang mengatur tentang pengelolaan ikan terbang  KEPMEN KP Nomor 69/KEPMEN-KP/2016 telah direviu. Beberapa upaya sedang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengatur pengelolaan ikan terbang dan telurnya. Salah satu diantaranya KKP melalui pendanaan hibah GEF-6 CFI Indonesia memfinalisasi telaah teknis alat penangkapan ikan (API)/alat bantu penangkapan ikan (ABPI) ikan dan telur ikan terbang di Jakarta.  Kegiatan ini dilaksanakan secara luring dan daring (online) selama 4 hari dari tanggal pada tanggal 15-18 November 2022 di Jakarta,

Ikan terbang dikenal dengan nama torani atau tuing-tuing, ditemukan hampir di semua perairan tropik dan subtropik. Di Indonesia tersebar di Selat Makassar, Laut Flores, Laut Banda, Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Arafura, Laut Utara Papua, Laut Halmahera, Laut Sawu, perairan selatan Bali dan Jawa Timur, pantai barat Sumatera, perairan Sabang Banda Aceh.  Selain daging ikan terbang dimanfaatkan untuk konsumsi, kini telur telurnya menjadi incaran para nelayan. Pemanfaatan ikan terbang sudah diatur dalam regulasi dengan menggunakan API jaring insang, namun untuk pemanfaatan telur ikan terbang belum ada pengaturan. Pengambilan telur ikan terbang masih bersifat tradisional. Nelayan mulai memanfaatkan telur ikan terbang setelah mengetahui nilai pasar yang tinggi.

Pengumpulan telur ikan terbang di laut menggunakan alat yang telah mengalami perkembangan dimulai dengan nama “pakkaja” sampai saat ini berubah bentuk dan memiliki nama lokal yang bermacam-macam antara lain bale-bale, balla-balla, karamba atau rumpon. Alat tersebut belum dapat diklasifikasi sebagai API atau ABPI karena musim pengumpulan telur ikan terbang tidak berlangsung sepanjang tahun (bertelur secara parsial).

Awalnya pemanfaatan telur ikan terbang ekonomis tinggi di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 713 disekitar Selat Makasar dan Laut Flores. Kini merambah ke WPPNRI 714, 717 dan 718 (Maluku dan Papua Barat). Penangkapan telur ikan terbang di tiga  WPPNRI tersebut umumnya dilakukan oleh nelayan andon yang berasal dari Sulawesi Tenggara (Buton Selatan, Konawe Kepulauan), Sulawesi Selatan (Takalar/Galesong, Bone dan Bulukumba), serta nelayan lokal seperti di Sulawesi Barat (Majene), Kabupaten Kepulauan Taliabu, Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Sorong, Kabupaten Fakfak dan Kota Sorong.

Ikan terbang bertelur memanfaatkan rumput laut atau tali yang terapung dipermukaan perairan. Hal ini yang dimanfaatkan oleh nelayan penangkap telur ikan terbang untuk mendesain alat tangkap sesuai dengan tingkah laku induk ikan seperti bale-bale.

 Sejarah pemanfaatan ikan dan telur ikan terbang dirintis oleh nelayan asal Kabupaten Takalar. Nelayan menangkap ikan terbang dewasa dengan alat berbentuk bubu permukaan yang terbuat dari bahan bambu atau rotan.  Alat tangkapan tersebut oleh nelayan asal Galesong Takalar diberi nama “pakaja”.  Seiring dengan permintaan telur ikan terbang dan harga jual yang tinggi dibanding dengan permintaan ikan terbang, membuat nelayan tersebut memodifikasi alat yang hanya untuk menangkap telur ikan. Alat yang bahasa Makassarnya disebut “balla-balla” dan sekarang dikenal dengan istilah bale-bale. Bale-bale berbentuk rangka segi empat berbahan bambu/kayu atau lainnya dan dilengkapi rumbai (daun kelapa, dll) digunakan untuk memikat ikan terbang untuk berpijah dan menempelkan telurnya

Permasalahan yang dihadapai selama ini dalam pengelolaan telur ikan terbang adalah belum ada nomenklatur yang mengatur pemanfaatan telur ikan terbang. Sehingga dalam setiap operasi penangkapan mengalami permasalahan dengan izinnya. Selain itu, masifnya penangkapan telur ikan terbang diduga ikut berdampak terhadap penurunan hasil tangkapan ikan terbang nelayan lokal.  Bahkan masyarakat lokal mulai menyadari bahwa produksi telurnya mulai berkurang. Isu lain yang cukup menjadi perhatian public adalah limba daun kelapa dari bale-bale yang rusak atau sudah tidak digunakan lagi, dibuang ke laut dan sering dijumpai menutupi terumbu karang dalam kawasan konservasi dan menggangu pertumbuhan budidaya rumput laut. Hal ini ditemukan di perairan sekitar Ur Pulau Maluku Tenggara.

Oleh itu pentingnya dokumen telaah teknis alat penangkan ikan (API)/alat bantu penangkapan ikan (ABPI) telur ikan terbang sebagai rekomendasi teknis dalam pengambilan kebijakan pada kegiatan perikanan ikan terbang khususnya penggunaan alat untuk penangkapan telur ikan terbang. Setidaknya dokumen ini mendeskripsikan API/ABPI telur ikan terbang dan nomenklatur serta pengaturan penangkapan telur ikan terbang.

0 COMMENTS

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *

0 Comments