728 x 90

MENGGAGAS ASA KEMANDIRIAN DARI ETIKA EKOLOGI DAN SOSIOLOGI MARITIM*

“Menatap laut, sumber kehidupan dan masa depan dunia”

Laut bukan sekadar bentangan biru yang memisahkan daratan. Ia adalah sumber kehidupan—menyediakan oksigen, pangan, menyerap karbon, mengatur iklim, dan menjadi jalur utama perdagangan global, mengangkut lebih dari 80% logistik dunia.

Bagi Indonesia, yang dua pertiga wilayahnya berupa laut—sekitar 3,2 juta km² dengan 17.508 pulau dan garis pantai sepanjang 81.000 km—lautan adalah identitas, warisan, dan modal pembangunan. Julukan sebagai Negara Maritim bukan isapan jempol. Laut kita kaya biodiversitas, menyimpan potensi energi terbarukan, mineral, hingga keindahan alam yang menopang industri wisata bahari.

Namun, potensi luar biasa ini terus tergerus. Penangkapan ikan berlebih (overfishing), alat tangkap merusak, penangkapan ilegal (IUU fishing), degradasi ekosistem pesisir, pencemaran plastik, hingga dampak perubahan iklim menjadi ancaman serius. Infrastruktur dan teknologi kelautan masih belum merata. Sumber daya manusia (SDM) pun perlu terus ditingkatkan, baik dari sisi kuantitas maupun kapasitas.

CFI Indonesia dan Upaya Menuju Maritim Berkelanjutan

Untuk menjawab tantangan itu, lahir program GEF 6 CFI Indonesia: The Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM) in Eastern Indonesia, hasil kerja sama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan WWF US GEF Agency. Program ini menitikberatkan pada pendekatan EAFM, yaitu strategi pengelolaan perikanan berbasis ekosistem yang mempertimbangkan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi secara seimbang.

Selama lima tahun terakhir, CFI Indonesia hadir di wilayah timur Indonesia—khususnya di WPPNRI 715, 717, dan 718—dengan berbagai strategi yang membangun. Mulai dari pengelolaan kawasan konservasi laut, penangkapan ikan terukur (PIT) berbasis kuota, hingga pengendalian sampah laut dan pencemaran. Program ini juga mendukung Blue Economy yang dicanangkan KKP, serta pencapaian target SDG 14 dan komitmen 30x30 (melindungi 30% wilayah laut pada 2030) yang oleh pemerintah Indonesia komitmen 30 x 45 (melindungi 30% wilayah laut pada 2045)

CFI Indonesia berperan aktif memfasilitasi perluasan tiga kawasan konservasi laut baru serta pencadangan OECMs (Other Effective Area-Based Conservation Measures) di Maluku. Selain itu, program ini mendukung penetapan kuota penangkapan ikan melalui proses berbasis data ilmiah yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan—termasuk Komnas Kajiskan, UPP WPP, pemerintah daerah, akademisi, dan NGO.

Goresan tangan Deliniasi peta rekomendasi OECM tidak sekadar formalitas—ia melambangkan kepercayaan, persatuan, dan tekad bersama untuk melindungi laut. Setiap goresan tangan masyarkat adat mencerminkan komitmen, membawa janji untuk melestarikan kekayaan laut demi masa depan.

Raja Ampat dan Kesadaran akan Laut yang Bersih

Raja Ampat, sebagai destinasi wisata bahari kelas dunia, juga mendapat perhatian khusus. Sebagai wilayah dengan reputasi internasional—peringkat keempat dalam daftar Top 5 Best Places in the World to Travel 2025 versi National Geographic—Raja Ampat memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga lautnya tetap bersih dan sehat.
CFI Indonesia menggelar aksi bersih laut dan pantai di wilayah ini, mengedukasi masyarakat, nelayan, dan pemerintah lokal tentang pentingnya mengurangi sampah plastik yang mencemari ekosistem laut.

Revitalisasi Sasi: Kearifan Lokal sebagai Etika Ekologi

Di tengah tantangan global, harapan justru lahir dari akar budaya lokal. Masyarakat Maluku dan Papua telah lama mengenal Sasi, sebuah sistem kearifan lokal yang mengatur pelarangan mengambil hasil laut pada waktu atau tempat tertentu demi kelestarian.

Sasi tak hanya menjadi tradisi, tapi juga simbol dari etika ekologis masyarakat pesisir. Nilai-nilai moral seperti kesadaran, kepatuhan, dan tanggung jawab terhadap alam melekat erat dalam praktik ini. Oleh karena itu, CFI Indonesia mendorong revitalisasi Sasi melalui pendekatan Sasi Co-Management, yaitu pengelolaan bersama antara masyarakat adat dan pemangku kebijakan.

Para nelayan perempuan berkumpul dengan fokus dan antusiasme, belajar mengubah hasil tangkapan mereka menjadi produk olahan beragam yang didasarkan pada kebijaksanaan Sasi. Melalui pelatihan ini, tradisi dan inovasi bersatu—memberdayakan perempuan untuk menambah nilai, memperkuat pendapatan rumah tangga, dan memastikan warisan pesisir terus menyejahterakan generasi mendatang.

Melalui pendekatan ini, wilayah perairan dikelola berdasarkan hukum adat, dideliniasi secara partisipatif, dan dicadangkan sebagai wilayah konservasi OECMs. Contohnya, di Kabupaten Seram Bagian Timur (Pulau Gorom dan Manowaku), telah terpetakan 5.971 hektar potensi OECMs. Di Kabupaten Maluku Tenggara (Pulau Kei Besar), terdapat 348 hektar wilayah yang dikelola secara serupa.

Mengakui MHA
Penguatan Sasi juga tak bisa dilepaskan dari pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat (MHA). MHA memiliki hak untuk mengatur wilayah adatnya, termasuk tanah dan sumber daya laut, serta menjalankan hukum adat secara otonom.

Hingga kini, dua MHA di Maluku telah mendapat fasilitasi pengakuan: MHA Ohoirenan di Maluku Tenggara (dengan SK Bupati), dan MHA Kilitai-Kiliharu di Seram Bagian Timur yang sedang menunggu penetapan. Pengakuan ini memperkuat posisi masyarakat adat sebagai garda depan pelestarian laut.

Mendorong Kemandirian Ekonomi Melalui “Sasi Label”

Kemandirian ekologi perlu disandingkan dengan kemandirian ekonomi. CFI Indonesia mengembangkan sistem “Sasi Label”, sebuah model bisnis perikanan berbasis komunitas yang membangun rantai nilai dari hulu ke hilir.

Program ini menyasar nelayan laki-laki maupun perempuan. Para istri nelayan dilatih keterampilan pengolahan hasil laut, branding produk, membentuk koperasi, serta menjalin kemitraan dengan retail modern. Hingga Agustus 2025, pendapatan sepuluh kelompok nelayan perempuan binaan CFI Indonesia telah melampaui Rp180 juta, dan produk mereka kini tersedia di sepuluh outlet retail di Maluku.

Di antara rak-rak yang rapi, seorang pemilik toko berbagi kisahnya dengan bangga. Kamera tidak hanya merekam wawancara—tetapi juga mengungkapkan kedatangan produk komunitas pesisir, yang dulu dibuat di desa-desa kecil, kini menemukan tempatnya di ritel modern. Setiap kemasan yang dipajang membawa perjalanan kelompok perikanan CFI Indonesia, mengubah dedikasi lokal menjadi barang yang menjangkau pasar yang lebih luas dan menyentuh lebih banyak kehidupan.

Model ini telah diterapkan di Maluku Tenggara, Seram Bagian Timur, dan Teluk Wondama, serta mulai direplikasi di Ambon, Biak Numfor, Kaimana, dan Raja Ampat.

Laut sebagai Warisan, Bukan Sekadar Sumber Daya

Konsep EAFM mengingatkan kita bahwa laut bukan sekadar komoditas untuk dieksploitasi, tetapi modal alam yang harus dijaga. Keberlanjutan sejati menuntut keseimbangan antara keberlanjutan ekologi, keadilan sosial, dan kemandirian ekonomi serta kesetaraan gender.

Dengan menghargai kearifan lokal seperti Sasi, mengakui hak masyarakat adat, serta mendukung pemberdayaan ekonomi komunitas nelayan, Indonesia tengah menapaki jalan kemandirian maritim yang beretika dan berkelanjutan.

Kini, saatnya kita melihat laut sebagai rumah bersama—bukan hanya untuk generasi kini, tapi juga untuk masa depan.

Sebuah lembar kertas tergeletak di antara mitra, namun yang benar-benar penting adalah janji yang dibawanya. Saat MoU ditandatangani, tangan bersalaman dengan kepercayaan dan mata menatap ke depan dengan harapan—menandai awal perjalanan di mana usaha perikanan skala kecil melangkah dengan percaya diri ke dalam rantai pasok ritel modern. Lebih dari sekadar perjanjian formal, ini adalah kisah kolaborasi, membuka pintu menuju peluang baru di bawah visi Ekonomi Biru yang berkembang.

https://iwlearn.net/news/envisioning-self-reliance-through-the-ethics-of-maritime-ecological-and-sociology

0 COMMENTS

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *

0 Comments