728 x 90

NEGARA HARUS HADIR LEBIH NYATA UNTUK NELAYAN: REVIU PELAKSANAAN REGULASI TERKAIT PERLINDUNGAN NELAYAN DAN AWAK KAPAL PERIKANAN SERTA BAGI HASIL PERIKANAN

cfi-indonesia.id. Dalam upaya memperkuat perlindungan dan kesejahteraan nelayan serta awak kapal perikanan, telah diselenggarakan Rapat Reviu Pelaksanaan Regulasi Terkait Perlindungan Nelayan/Awak Kapal Perikanan dan Bagi Hasil Perikanan. Kegiatan ini merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1968 tentang Bagi Hasil Perikanan, serta bentuk komitmen bersama untuk memastikan hak dan kewajiban nelayan Indonesia ditegakkan secara adil dan manusiawi.

Foto bersama peserta Pertemuan Reviu Pelaksanaan Regulasi Terkait Perlindungan Nelayan/Awak Kapal Perikanan dan Bagi Hasil Perikanan. dihadiri dari berbagai kalangan, perwakilan KKP, akademisi, peneliti, organisasi nelayan, NGO dan Koperasi Nelayan, perwakilan WWF GEF Agency, serta PMU CFI Indonesia, (9/6/2025).

Kegiatan ini difasilitasi melalui pendanaan hibah CFI Indonesia GEF 6 dan dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), di Hotel Mercure Sabang, Jakarta (9/6/2025). Pertemuan dihadiri oleh 45 peserta dari berbagai kalangan, perwakilan KKP, akademisi, peneliti, organisasi nelayan, NGO dan koperasi nelayan, perwakilan WWF GEF Agency, serta PMU CFI Indonesia.

Direktur Perindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Mahrus, S.St.Pi, M.Si, mewakili Plt. Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, dalam sambutannya menyampaikan pesan yang menyentuh. Ia menegaskan bahwa perlindungan terhadap nelayan bukan hanya soal regulasi, tapi soal keadilan dan kemanusiaan.Ia juga menyinggung bahwa beberapa undang-undang (UU) yang berlaku, seperti UU No. 16 Tahun 1964 dan UU No. 7 Tahun 2016, belum sepenuhnya menjawab realitas lapangan. Karena itu, menurutnya, harmonisasi kebijakan menjadi sangat penting.
"Kalau negara mau hadir, ya jangan cuma di atas kertas. Kita harus pastikan ada perjanjian kerja yang adil, ada jaminan sosial, dan sistem bagi hasil yang manusiawi. Kita juga harus selaras dengan standar internasional seperti Konvensi ILO C-188/2007 tentang Pekerjaan Penangkapan Ikan," tambahnya.

Direktur Kapal Perikanan dan Alat Penangkapan Ikan (KAPI), Mochamad Idnillah, juga ikut menyinggung isu perlindungan terhadap nelayan. Menurutnya, berdasarkan hasil kunjungan kerja Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) ke Dobo (Kepulauan Aru), Maluku dalam rangka peluncuran modeling PIT, terdapat informasi yang tersampaikan kepada MKP mengenai indikasi perbudakan di kapal perikanan, tidak hanya kapal asing tetapi juga kapal-kapal perikanan Indonesia. “Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah terkait untuk dapat menyelesaikan permasalahan perbudakan dimaksud,” paparnya. Selain itu, Idnillah menambahkan adanya indikasi perbudakan terjadi pada perekrutan dan penempatan, gaji/upah, perjanjian kerja sama laut, konsumsi, peralatan kerja, dan persyaratan kerja.

Dr. Akhmad Solihin dari IPB University menguraikan hasil penelitian PKSPL di PPSNZ Jakarta terhadap beberapa armada. Terindikasi masih banyak nelayan, terutama awak kapal perikanan, menghadapi kondisi kerja eksploitatif, termasuk kerja paksa, perbudakan modern, dan pelanggaran HAM. “Jam kerja umumnya lebih dari 14 jam/hari; tidak ada hak cuti selama operasi; izin bekerja diberikan dalam kondisi khusus, mayoritas menggunakan sistem gaji bulanan (hanya 10% sesuai UMP) serta tidak ada tunjangan berlayar dan lembur, 41% awak kapal tidak memiliki sertifikat (termasuk nahkoda dan KKM),” urai Solihin.

Dari sisi organisasi nelayan, Sugeng dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyoroti pentingnya perlindungan terhadap penghasilan nelayan kecil, yang selama ini masih belum mendapatkan jaminan dan kepastian. Termasuk pemerintah memastikan distribusi Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi kepada nelayan kecil.
Kaitannya dengan bagi hasil, Sugeng melaporkan praktik di Pelabuhan Pendaratan Pantai (PPP) Bajomulyo menerapkan dua pola penerapan penggajian terhadap awak kapal perikanan, yaitu berupa bagi hasil dan insentif.

Sementara itu, Rizky dari tim Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan menguraikan pembelajaran dari hasil riset Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan terkait perlindungan nelayan/awak yang dilakukan di 4 wilayah (Kabupaten Indramayu, Kabupaten Cilacap, Kota Buton, dan Kabupaten Merauke). Ia menyimpulkan bahwa telah teridentifikasi ketidaksesuaian penerapan UU No. 7 Tahun 2016.

Perwakilan Koperasi Mitra Nelayan Samudera, Purnomo, turut menyampaikan aspirasinya terkait perlindungan awak kapal jika terjadi pelanggaran di laut. Disampaikan bahwa sering kali pelanggaran dilakukan oleh perwira, bukan oleh awak kapal, namun justru awak kapal yang terdampak.

Hasil penelitian Destructive Fishing Watch (DFW) mengenai permasalahan pengupahan pada kapal industri disampaikan Ayu. Simpulannya bahwa besaran upah berbeda-beda tergantung dari kebijakan perusahaan pelaku usaha serta premi yang menjadi ukuran produktivitas Anak Buah Kapal (ABK). “Variasi permasalahan upah tidak sesuai dengan perjanjian, tidak adanya transparansi dari perusahaan dalam pengaturan pengupahan mereka,” tegasnya.

Dr. Adipati Rahmat, Project Manager dari CFI Indonesia, turut mengapresiasi penyelenggaraan kegiatan ini dan berharap diskusi tidak berhenti sampai di sini. Ia menegaskan bahwa CFI Indonesia akan mendukung pengembangan sistem perlindungan dan bagi hasil perikanan yang inklusif, utamanya dalam menghadapi tantangan dari pelaku usaha kecil. “Kami melihat isu ini mendapat perhatian dan dukungan dari berbagai stakeholder, sehingga patut didukung, dan jika ada kebutuhan kunjungan ke lapangan, kami akan fasilitasi,” ungkap Adipati.

Perwakilan WWF GEF Agency Anton Wijonarno  merespon positif pertemuan ini. Menurutnya rapat regulasi terkait perlindungan nelayan dan awak kapal dan bagi hasil sejalan dengan proyek GEF terkait prinsip save guard dan gender. “Gender tidak hanya keterlibatan partipsasi wanita, juga terkait pihak yang termarjinalkan dalam akses terhadap sumber daya, dan juga hak asasi manusia dalam kesetaraan pengelolaan sumber daya dan keberlangsungannya yang adil dan bertanggung jawab” ungkap Anton.

Muhammad Abdi Suhufan, Tenaga Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Perlindungan Nelayan dan Awak Kapal Perikanan, ikut hadir dan mengapresiasi pertemuan ini. Ia mendorong agar pertemuan ini mengidentifikasi definisi dan ruang lingkup entitas nelayan dan awak kapal perikanan, juga berbagai permasalahan di lapangan. “Pertemuan seperti ini masih perlu dilanjutkan melibatkan pihak lainnya seperti asosiasi. Beberapa isu yang telah diidentifikasi hari ini dapat ditindaklanjuti, mendalami permasalahan, dan perlu mendiskusikan secara tematik,” ungkapnya. Lebih jauh Abdi berharap selanjutnya kajian ini menghasilkan naskah akademik.

Kegiatan ini merupakan langkah awal yang penting dalam proses reformulasi kebijakan perlindungan dan pembagian hasil perikanan, dengan melibatkan seluruh elemen secara kolaboratif demi kesejahteraan nelayan Indonesia.

 

0 COMMENTS

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *

0 Comments