728 x 90

GEF-6 CFI INDONESIA DORONG PENGELOLAAN BERKELANJUTAN KEPITING BAKAU DI TELUK HOAT SORBAY, MALUKU TENGGARA

Ambon, cfi-indonesia.id. 4 Januari 2025 – Upaya menuju perikanan kepiting bakau yang berkelanjutan di Kabupaten Maluku Tenggara terus diperkuat. Program Global Environment Facility (GEF-6) Coastal Fisheries Initiative (CFI) Indonesia memfasilitasi pertemuan Kelompok Kerja (Pokja) Marine Stewardship Council (MSC) Kepiting Bakau untuk wilayah Teluk Hoat Sorbay. Pertemuan ini menjadi langkah penting dalam mempercepat pencapaian sertifikasi MSC Kepiting Bakau Maluku Tenggara, sebuah standar global untuk perikanan berkelanjutan.

Kegiatan yang berlangsung di Hotel Santika Ambon ini dihadiri oleh 30 peserta dari berbagai unsur: pemerintah daerah, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, kelompok nelayan, serta mitra pembangunan seperti WWF Indonesia dan tim Project Management Unit (PMU) GEF-6 CFI Indonesia. Hadir pula pejabat penting, antara lain Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Maluku, serta Kepala Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Hasil Perikanan (KIPM).

Menjaga Keseimbangan antara Ekonomi dan Kelestarian

Dalam sambutannya, Erawan Aiskin menekankan pentingnya keseimbangan antara peningkatan pendapatan nelayan dan kelestarian stok kepiting di alam. Ia mengingatkan bahwa permintaan pasar—khususnya dari pembeli (buyer) ekspor—belum sepenuhnya dapat dipenuhi karena keterbatasan stok dan ukuran tangkapan yang tidak sesuai standar.

“Nelayan harus bisa memenuhi standar pembeli tanpa mengorbankan keberlanjutan stok. Perlu pengaturan area dan musim tangkap agar pendapatan nelayan tetap terjaga,” ujarnya. Aiskin juga mengajak seluruh peserta untuk berkontribusi dalam perbaikan indikator kinerja (performance indicators) menuju sertifikasi MSC, agar perikanan kepiting bakau Maluku Tenggara bisa diakui secara internasional sebagai perikanan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Paparan Ilmiah: Kondisi Stok Kepiting Bakau di Teluk Hoat Sorbay

Dalam sesi diskusi, Kamaluddin Kasim , peneliti sekaligus narasumber Pokja MSC Kepiting Bakau, memaparkan hasil riset mengenai kondisi populasi dan pengelolaan kepiting di Teluk Hoat Sorbay. Berdasarkan Keputusan Kepala DKP Provinsi Maluku, ukuran minimum tangkap telah disepakati:

  • Kepiting laut (Scylla serrata) — lebar karapas minimum 15 cm dengan berat 600 gram.
  • Kepiting darat (Scylla olivacea) — lebar karapas minimum 13 cm dengan berat 480 gram.

Kamaludin menjelaskan bahwa kepiting laut masih tergolong melimpah, tetapi kepiting darat menunjukkan tanda-tanda penurunan populasi akibat penangkapan intensif. “Kepiting darat lebih rentan karena habitatnya terbatas dan sering tertangkap sebelum mencapai ukuran matang gonad,” jelasnya.

Berdasarkan hasil analisis stok (2020–2024), S. serrata memiliki kondisi biomassa di atas tingkat lestari (B/BMSY > 1), sedangkan S. olivacea berada di bawah batas aman (B/BMSY < 1; F/FMSY > 1,4). Analisis model surplus produksi Schaefer menunjukkan potensi hasil tangkap maksimum lestari (MSY) masing-masing sebesar 1.940 ton untuk S. serrata dan 1.257 ton untuk S. olivacea. Artinya, total produksi tahunan sebaiknya tidak melampaui angka tersebut agar stok dapat pulih secara alami.

Analisis Length-Based Spawning Potential Ratio (LBSPR) turut mengungkap bahwa banyak kepiting yang ditangkap sebelum sempat bereproduksi—terutama S. olivacea dengan nilai SPR di bawah 0,25. Sementara S. serrata sedikit lebih baik (SPR 0,28–0,38), namun masih di bawah ambang konservasi ideal (≥0,40).

Kesepakatan Pokja: Aturan Tangkap dan Perlindungan Habitat

Pertemuan Pokja menghasilkan Berita Acara Kesepakatan yang menjadi acuan bagi nelayan, pengepul, dan pembeli dalam menjaga keberlanjutan sumber daya kepiting. Beberapa poin penting hasil pembahasan antara lain:

  1. Rekomendasi ukuran tangkap minimum:
    • S. serrata: lebar karapas 15 cm atau berat minimal 600 gram.
    • S. olivacea: lebar karapas 14 cm atau berat minimal 400 gram.
  2. Kepiting betina bertelur wajib dilepaskan kembali ke alam.
  3. Larangan penangkapan di kawasan Bidubloat (Ohoi Evu) dan Ohoi Warwut untuk melindungi area pemijahan.
  4. Pembaruan SK DKP Provinsi Maluku tentang pembatasan ukuran dan berat kepiting.
  5. Kuota tangkapan tahunan dianjurkan: 1,94 ton untuk S. serrata dan 1,25 ton untuk S. olivacea.
  6. Pertemuan tahunan Pokja Kepiting Bakau akan dilaksanakan untuk memantau perkembangan stok dan strategi pengelolaan.

Langkah-langkah tersebut menjadi bagian dari Harvest Strategy dan Harvest Control Rule (HCR) yang diusulkan berdasarkan hasil riset. Strategi ini mencakup pengaturan ukuran tangkap, pembatasan alat tangkap, penutupan sementara saat musim pemijahan, serta pengawasan habitat mangrove yang menjadi tempat penting bagi kepiting muda untuk tumbuh dan berkembang.

Simulasi model menunjukkan bahwa meningkatkan ukuran tangkap rata-rata 5–10% dapat menaikkan nilai SPR hingga di atas 0,50—meningkatkan peluang kelangsungan reproduksi alami. Dengan demikian, strategi ini tidak hanya melindungi stok kepiting, tetapi juga menjamin kesinambungan ekonomi bagi masyarakat pesisir yang bergantung pada sumber daya tersebut.

Menuju Sertifikasi MSC dan Masa Depan Perikanan Berkelanjutan

Pertemuan Pokja MSC Kepiting Bakau di Teluk Hoat Sorbay merupakan bagian dari perjalanan panjang menuju *sertifikasi Marine Stewardship Council (MSC)*. Sertifikasi ini menandakan bahwa perikanan tersebut memenuhi standar global dalam menjaga keberlanjutan sumber daya, dampak ekosistem, dan sistem manajemen yang transparan.

Melalui kolaborasi antara pemerintah, nelayan, akademisi, dan mitra pembangunan, diharapkan pengelolaan kepiting bakau di Maluku Tenggara dapat menjadi model perikanan berkelanjutan di Indonesia Timur. Dengan penerapan prinsip ilmiah dan partisipasi aktif masyarakat, keseimbangan antara konservasi ekologi dan kesejahteraan ekonomi bukan lagi mimpi, melainkan masa depan nyata bagi pesisir Maluku.

 

0 COMMENTS

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *

0 Comments