728 x 90

PENERAPAN SASI LABEL: MENJAGA KETAHANAN PANGAN DI TENGAH PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA TIMUR

Perubahan iklim bukan lagi ancaman masa depan. Ia telah hadir nyata, mengguncang pola cuaca, menggeser musim tanam, dan memengaruhi ketersediaan sumber pangan—khususnya di wilayah pesisir Indonesia Timur. Masyarakat nelayan kini menghadapi tantangan besar: berkurangnya hasil tangkapan, naiknya biaya operasional, dan semakin rentannya ketahanan pangan. Namun, di tengah tekanan tersebut, muncul sebuah inisiatif lokal yang terintegrasi dengan dukungan proyek nasional dan internasional: Sasi Label, yang menjadi titik temu antara kearifan lokal dan inovasi pembangunan berkelanjutan.

Ketahanan Pangan dan Tantangan Perubahan Iklim

Ketahanan pangan adalah kemampuan suatu komunitas untuk menjamin ketersediaan pangan yang cukup, sehat, dan berkelanjutan bagi semua warganya. Namun, laporan IPCC (2023) menunjukkan bahwa perubahan iklim menekan sistem pangan global. Kenaikan suhu laut dan cuaca ekstrem mendorong migrasi spesies ikan dan mempersulit upaya nelayan untuk mempertahankan hasil tangkapan. Di negara kepulauan seperti Indonesia, ini bukan hanya soal ekologi, melainkan juga menyentuh aspek sosial, ekonomi, dan hak dasar manusia atas pangan.

Lebih dari 2,7 juta orang bergantung langsung pada sektor perikanan, ditambah jutaan lainnya di sektor pengolahan dan distribusi. Maka, adaptasi dan intervensi sistemik menjadi sangat penting—terutama bagi nelayan skala kecil di wilayah timur Indonesia.

Intervensi CFI Indonesia: Dari Kapasitas Lokal hingga Jejaring Pasar

Menjawab tantangan ini, proyek Coastal Fisheries Initiative (CFI) Indonesia, yang didanai oleh GEF 6 dan dikoordinasikan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), hadir sebagai salah satu intervensi strategis. Proyek ini berfokus di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 715, 717, dan 718, yang mencakup sebagian besar wilayah Indonesia Timur.

Intervensi CFI Indonesia memfasilitasi promosi produk olahan perikanan kelompok binaan pada even Pameran nasional JCC 

Selama pelaksanaannya, CFI Indonesia telah menjangkau lebih dari 5.300 nelayan, dengan 32% di antaranya adalah nelayan perempuan. Mereka tidak hanya menerima pelatihan peningkatan kapasitas dalam menangkap dan mengolah ikan, tetapi juga dibekali dengan keterampilan branding, manajemen usaha, dan pemasaran produk. Inilah langkah nyata pemberdayaan ekonomi lokal yang berorientasi pada ketahanan pangan dan kesetaraan gender.

Lebih dari itu, CFI juga membangun kemitraan antara UMK binaan dan jaringan retail modern. Melalui MoU yang telah ditandatangani, produk-produk berlabel Sasi kini tersedia di 10 outlet retail modern, dengan potensi ekspansi hingga 30 outlet pada akhir proyek. Model ini sudah berhasil diterapkan di wilayah seperti Maluku Tenggara, Seram Bagian Timur, dan Teluk Wondama, dan mulai direplikasi di daerah lain seperti Ambon, Biak Numfor, Kaimana, dan Raja Ampat.

Menguatkan Hukum Adat dan Wilayah Konservasi: OECMs

Salah satu pendekatan kunci dari CFI Indonesia adalah mendorong pengelolaan wilayah pesisir berbasis hukum adat dan konservasi partisipatif. Melalui proses pemetaan yang melibatkan masyarakat, wilayah-wilayah adat didefinisikan sebagai Other Effective area-based Conservation Measures (OECMs).

Pengambilan sampel larva di Perairan Pulau Gorom saat identifikasi OECM oleh tim Peneliti BRIN(08/2025) 

Sebagai contoh, di Kabupaten Seram Bagian Timur (Pulau Gorom dan Manawoku), telah dipetakan sekitar 5.971 hektar wilayah laut sebagai potensi OECMs. Di Pulau Kei Besar, Maluku Tenggara, terdapat tambahan 348 hektar wilayah yang dikelola secara serupa. Dengan menerapkan prinsip Sasi—larangan mengambil hasil laut dalam periode tertentu—biota laut mendapat waktu untuk berkembang biak, ekosistem pulih, dan hasil tangkapan pun menjadi lebih berkelanjutan.

Sasi Label: Kearifan Lokal yang Diintegrasikan dengan Sistem Modern

Konsep Sasi, yang berarti larangan mengambil hasil laut atau darat dalam periode tertentu, telah lama menjadi bagian dari budaya Maluku dan Papua. Kini, dengan dukungan CFI Indonesia, kearifan lokal ini diintegrasikan ke dalam sistem bisnis modern melalui Sasi Label.

Intervensi CFI Indonesia mendorong diversifikasi produk olahan perikanan bergizi dan membantu ketahanan pangan nasional di WPP 715,717 dan 718.

Di Kampung Watkidat, misalnya, nelayan dilatih untuk menggunakan alat tangkap ramah lingkungan, sementara para perempuan dilatih mengolah hasil laut menjadi abon ikan, kerupuk, dan ikan asap. Produk-produk ini lalu dipasarkan melalui Kelompok Usaha Bersama (KUB), yang terhubung langsung dengan pasar modern.

Label “Sasi” bukan hanya simbol keberlanjutan, tetapi juga bukti bahwa produk tersebut berasal dari wilayah yang menjaga keseimbangan ekologi dan dikelola secara adat. Konsumen pun turut berperan dalam konservasi laut dan pemberdayaan masyarakat pesisir ketika memilih produk ini.

Dampak Nyata: Pemberdayaan Perempuan dan Ketahanan Komunitas

Sebelum intervensi CFI, perempuan di kampung pesisir seperti Watkidat seringkali terbatas pada peran domestik. Kini, mereka aktif dalam rantai nilai perikanan, mulai dari pengolahan hingga pemasaran. Sri Fanny Mony, Ketua Kelompok Nelayan Perempuan, menegaskan bahwa kehadiran Sasi Label telah membuka ruang baru bagi perempuan untuk berkontribusi dalam ekonomi desa secara setara.

Selain itu, produk olahan seperti abon dan ikan asap memiliki masa simpan panjang dan menjadi cadangan pangan strategis di musim paceklik atau cuaca ekstrem. Hal ini menjadi benteng penting bagi ketahanan pangan keluarga di tengah krisis iklim.

Dukungan Kebijakan dan Potensi Replikasi

Keberhasilan Sasi Label diperkuat oleh kebijakan nasional seperti Kampung Nelayan Maju dan alokasi 20% Dana Desa untuk ketahanan pangan. Keterlibatan pemerintah desa, lembaga adat, dan tokoh agama memastikan program ini berakar kuat di komunitas.

Di kota Ambon dan Kabupaten Maluku Tenggara, CFI Indonesia bahkan memperluas intervensinya dengan melatih kelompok nelayan perempuan untuk mendukung program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan penurunan stunting. Ikan diolah menjadi produk bergizi tinggi seperti kaki naga dan dendeng, yang cocok untuk konsumsi anak-anak sekolah. Inisiatif ini menunjukkan bahwa pemberdayaan komunitas lokal bisa menjawab persoalan nasional—bahkan global—dari ketahanan pangan hingga isu gizi.

Jalan Maju: Dari Komunitas Lokal Menuju Sistem Pangan Berkelanjutan

Sasi Label adalah lebih dari sekadar program ekonomi. Ia adalah model transformatif yang menyatukan kearifan lokal, pemberdayaan perempuan, konservasi, dan penguatan pasar. Di tengah gelombang perubahan iklim, model ini menjadi contoh bahwa solusi yang berakar pada budaya dan partisipasi masyarakat bisa menjadi jalan keluar paling efektif dan berkelanjutan.

Dari Watkidat Maluku Tenggara ke Ambon, dari Pulau Kei ke Raja Ampat, CFI Indonesia telah menunjukkan bahwa dengan dukungan yang tepat, masyarakat pesisir tidak hanya bisa bertahan, tetapi juga memimpin perubahan menuju masa depan pangan yang adil, tangguh, dan berkelanjutan.

0 COMMENTS

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *

0 Comments