cfi-indonesia.id. Manokwari, 8–10 Oktober 2025 — Upaya menjaga laut tetap lestari dan perikanan tetap produktif terus digalakkan. Salah satunya melalui pelatihan Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM) yang digelar CFI Indonesia bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Universitas Papua (Unipa).
Kegiatan ini menghadirkan 20 peserta (13 pria dan 7 wanita) yang terdiri dari penyuluh perikanan dan champion (perwakilan nelayan aktif) dari wilayah Papua, Papua Barat, dan Papua Barat Daya. Mereka berasal dari Raja Ampat, Kaimana, Biak Numfor, Teluk Wondama, serta perwakilan dari Balai Pelatihan dan Penyuluhan Perikanan (BPPP) Ambon dan Dinas Kelautan dan Perikanan Papua Barat.
Kegiatan Fasilitasi dan Diseminasi Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan Perikanan Bagi Penyuluh Perikanan dan Champion melalui Bimtek EAFM difasilitasi melalui hibah GEF 6 CFI Indonesia, Manokwari (8-9/10/2025)
Bimtek yang berlangsung dua hari ini merupakan bagian dari program GEF 6 CFI Indonesia: "The Ecosystem Approach to Fisheries Management in Eastern Indonesia", yang mencakup tiga wilayah pengelolaan perikanan: WPP 715, 717, dan 718.
Mengapa EAFM Jadi Strategi Nasional?
EAFM adalah pendekatan pengelolaan perikanan berbasis ekosistem, yang mempertimbangkan hubungan antara sumber daya ikan, lingkungan, serta faktor sosial dan ekonomi. Pendekatan ini menjadi sangat relevan di kawasan timur Indonesia yang kaya keanekaragaman hayati dan masyarakatnya sangat bergantung pada laut sebagai sumber hidup.
Menurut Henok Nimbrod Indouw, Kepala Bidang Kelautan dan Perikanan Papua Barat, EAFM telah menjadi strategi nasional karena mampu menjawab tantangan pengelolaan laut secara menyeluruh. “Penguatan kapasitas fasilitator seperti penyuluh dan champion sangat penting untuk percepatan implementasi EAFM di tingkat lokal,” tegasnya saat membuka acara.
Pelatihan ini mencakup: Pemahaman prinsip dan pilar utama EAFM; Penilaian indikator ekosistem; Pertukaran praktik terbaik lintas wilayah; serta Mendorong aksi lokal berbasis data dan ilmu.
Ilmu yang Harus Berujung Aksi
Prof. Ridwan Sala, Kepala Learning Center Unipa, menyampaikan bahwa pelatihan ini bukan sekadar transfer pengetahuan. “Ilmu yang tidak dibawa ke lapangan akan sia-sia. Penyuluh harus mampu menyampaikan pesan konservasi dalam bahasa yang dimengerti nelayan,” ujarnya.
Kepala LC EAFM Unipa Prof. Ridwan Sala menyampaikan manteri pada Bimtek EAFM, Manokwari (8-9/10/2025)
Ia juga menekankan pentingnya pendampingan berkelanjutan pasca-bimtek agar perubahan yang dibawa benar-benar terasa di masyarakat.
Tantangan di Lapangan: Dari Stigma Sampai Stunting
Diskusi selama pelatihan mengungkap berbagai tantangan pengelolaan perikanan di Papua, di antaranya:
Manajemen keuangan: Pendapatan nelayan bisa mencapai Rp6 juta per hari, tapi tanpa literasi finansial, banyak yang tak memiliki tabungan atau modal usaha berkelanjutan.
Konflik adat (sasi): Ketegangan muncul ketika wilayah laut adat dibuka tanpa kesepakatan dengan masyarakat lokal. Peserta menyarankan perlunya kesepakatan tertulis untuk menjaga harmoni.
Kepercayaan terhadap program pemerintah: Banyak nelayan mulai skeptis karena seringkali program tidak berkelanjutan. Solusinya? Fokus pada edukasi generasi muda untuk membentuk pelaku perikanan masa depan yang lebih adaptif dan sadar ekosistem.
Belajar Langsung dari Lapangan
Peserta juga mendapat kesempatan melakukan simulasi studi kasus berdasarkan daerah masing-masing. Misalnya, kelompok dari Teluk Wondama membahas kondisi ekosistem di Kampung Manarbu menggunakan enam domain EAFM:
Sumber Daya Ikan: Tangkapan bernilai tinggi seperti lobster dan teripang stabil. Spesies dilindungi tidak ditangkap.
Habitat dan Ekosistem: Lingkungan perairan relatif baik, dengan tutupan lamun, mangrove, dan karang yang tinggi.
Teknik Penangkapan: Tidak ada pelanggaran serius, meski ada ketidaksesuaian dokumen kapal. Mayoritas nelayan sudah tersertifikasi.
Sosial: Keterlibatan stakeholder masih rendah, dan konflik sosial masih terjadi.
Ekonomi: Aset rumah tangga terbatas dan kebiasaan menabung belum efektif.
Kelembagaan: Regulasi adat seperti sasi diterapkan, tapi lemahnya koordinasi dan komunikasi antarlembaga membuat implementasinya tidak maksimal.
Suara dari Penyuluh di Lapangan
Bastian Imbir, Penyuluh Perikanan dari Kabupaten Kaimana, menyebutkan bahwa banyak nelayan di Papua belum memahami pentingnya menjaga alam karena menganggap laut akan selalu memberi. “Saya akan gunakan ilmu ini untuk membuka wawasan nelayan tentang batas alam,” ujarnya.
Sementara itu, Dina Mambraku dari Manokwari menilai materi pelatihan sangat relevan dan langsung bisa diterapkan untuk membina kelompok nelayan di wilayahnya.
Masa Depan: Kolaborasi dan Konsistensi
Selain pelatihan teknis, bimtek ini membuka ruang kolaborasi antara pemerintah, akademisi, LSM, dan sektor swasta. Isu-isu strategis seperti konservasi pulau kecil, adaptasi perubahan iklim, pemanfaatan teknologi digital, dan penguatan rantai pasok perikanan menjadi fokus diskusi lanjutan.
Dr. Yuanike Kaber, Kepala Pusat Penelitian Sumberdaya Perairan Pasifik (P2SP2) Unipa, menyampaikan apresiasi atas kepercayaan yang diberikan kepada Unipa sebagai penyelenggara pelatihan. Ia berharap peserta mampu menjadi agen perubahan di wilayah masing-masing.
Langkah Kecil, Dampak Besar
Sementara itu, Perwakilan GEF 6 CFI Indonesia Dita Rosriana Mulyadi, S.Pi. menyampaikan harapan besar bahwa melalui program GEF 6, masyarakat di wilayah pesisir dapat mencapai kemandirian yang lebih tinggi dalam pengelolaan sumber daya laut dan pesisir guna menjamin keberlanjutan.
Bimtek EAFM ini bukan sekadar agenda pelatihan, tetapi bagian dari langkah besar menuju pengelolaan laut Indonesia yang lebih adil, tangguh, dan berkelanjutan. Ke depan, kegiatan serupa diharapkan menjadi agenda rutin—sebagai bukti nyata bahwa laut bukan hanya sumber pangan, tapi juga masa depan bangsa.
#EAFM #PerikananBerkelanjutan #Papua #PenyuluhPerikanan #CFIIndonesia #LautUntukMasaDepan
0 COMMENTS