Indonesia terus menegaskan hak berdaulat negara untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya hayati dan non-hayati di wilayah yurisdiksi sesuai Pasal 56 UNCLOS 1982 serta menegaskan pentingnya pengecualian perikanan skala kecil dari disiplin OCOF. Juga menyinggung Distant Water Fishing dan Large-Scale Industrial Fishing.
cfi-indonesia.id. Jenewa. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) ikut menghadiri Pertemuan internasional Fish Week Kluster ke-8. Rangkaian kegiatan Fisheries Subsidies Agreement (FSA) yang dilaksanakan dilaksanakan pada 4-8 Desember 2023 di WTO, Jenewa, Swiss merupakan lanjutan dari pertemuan Pertemuan Fish Week kluster ke-7 Bulan November 2023. Perundingan tersebut dalam rangka penyusunan teks FSA sekaligus menjalin komunikasi dan negosiasi dengan negara anggota WTO dalam penyelarasan teks FSA. Kegiatan ini difasilitasi melalui dana hibah GEF 6 CFI Indonesia.
Delegasi Indonesia di wakili oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan oleh Edy Putra Irrawady – Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan, Sekretaris Ditjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan, serta perwakilan Sekretariat Jenderal, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap dan Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan serta juga PMU GEF 6 CFI Indonesia .
Delegasi Indonesia di wakili oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan oleh Nilanto Perbowo, Hary Christijanto, Arinta Dwi Hapsari, Marcus dan juga perwakilan PMU GEF 6 CFI Indonesia Adipati Rahmat Gumelar.
Perjanjian WTO tentang Subsidi Perikanan teradaposi pada Konferensi Tingkat Menteri ke-12 (MC12) pada tanggal 17 Juni 2022. Fisheries Subsidies Agreement menandai langkah maju yang besar bagi keberlanjutan laut dengan melarang subsidi perikanan yang merugikan, yang merupakan faktor kunci dalam meluasnya penurunan stok ikan dunia. Perjanjian tersebut merupakan pencapaian bersejarah bagi para anggota karena target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) pertama yang sepenuhnya terpenuhi.
Pertemuan Fish Week kluster ke-7 difokuskan untuk melakukan pembahasan untuk pilar overcapacity and overfishing (OCOF) dan Special and Differential Treatment (SDT) guna menjembatani kesenjangan pandangan dan pengumpulan gagasan sehingga didapatkan kesepakatan Fisheries Subsidies Agreement (FSA) sebelum penyelenggaraan KTM ke-13 WTO yang direncanakan pada 26-29 Februari 2024 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.
Indonesia terus menegaskan hak berdaulat negara untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya hayati dan non-hayati di wilayah yurisdiksi sesuai Pasal 56 UNCLOS 1982 serta menegaskan pentingnya pengecualian perikanan skala kecil dari disiplin OCOF. Selain itu, Indonesia juga menyampaikan bahwa penerapan prinsip common but differentiated responsibility (CBDR) seharusnya ditargetkan kepada industri perikanan besar dan dibatasi fleksibilitas pemberian subsidinya sebatas wilayah yurisdiksi nasional saja.
Kesimpulan Fish Week kluster ke-7 diketahui bahwa anggota harus mengakselerasi negosiasi untuk menghasilkan suatu teks yang dapat disampaikan kepada para Menteri di KTM ke-13.
Karenanya perlu dilakukan pertemuan Fish Week kluster ke-8 sebagai proses akselerasi tersebut sehingga pandangan semua Anggota dapat menyampaikan gagasannya agar dokumen kesepakatan Fisheries Subsidies Agreement (FSA) dapat segera diselesaikan.
Indonesia dalam sesi ini menyampaikan intervensi sesuai dengan proposal Indonesia dokumen RD/TN/RL/172 dan menyayangkan bahwa dokumen 184 hanya memberikan peraturan notifikasi tambahan tanpa upaya aktif untuk menurunkan kapasitas. Selain itu tidak terdapat penegasan terhadap distant water fishing dan large-scale industrial fishing. Dalam hal ini, Indonesia mendukung proposal LDC dan proposal ACP dan Afrika Selatan sebagai opsi yang dapat dipertimbangkan dalam teks.
Secara umum negara-negara berkembang seperti India, Argentina, Brazil cukup senada dalam menyuarakan kekecewaan dan frustasi terhadap perkembangan negosiasi yang tidak mengakomodir proposal yang telah mereka sampaikan dalam Fish Week ketujuh. Di sisi lain negara-negara maju terus menyangkal pandangan negara berkembang dan LDC yang menuduh bahwa OFOC disebabkan oleh kelebihan kapasitas perikanan skala besar dan Distant Water Fishing.
Negara maju diantaranya Australia dan Tiongkok meminta pendefinisian yang jelas untuk distant water fishing. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan pendefinisian distant water fishing, seperti yaitu dibatasi di luar FAO major fishing area terdekat, berdasarkan area kompetensi RFMO terdekat, atau penangkapan ikan diluar wilayah jurisdiksi. Di samping itu, negara-negara berkembang utamanya yang berada di wilayah mediterania menekankan bahwa usulan pembatasan 200 mil laut yang diusulkan oleh beberapa negara sulit diterapkan di wilayah mereka, mengingat masih adanya negara yang belum menetapkan batasan yurisdiksinya pada 200 mil laut. Sehingga negara-negara tersebut seperti Tunisia dan Nigeria cenderung berada pada posisi pembatasan geografis diserahkan kepada masing-masing negara anggota.
Indonesia menekankan tentang berbahayanya fleksibilitas yang tersedia untuk distant water fishing bagi keberlanjutan sumber daya serta kesetaraan antara subsidi negara maju dengan negara berkembang dan LDC members. Indonesia juga menyampaikan dukungan terhadap proposal LDC group yang menyatakan bahwa “tidak ada anggota yang boleh memberikan atau mempertahankan subsidi untuk penangkapan ikan atau kegiatan terkait penangkapan ikan di wilayah di luar yurisdiksi anggota”. Indonesia mendorong pentingnya pendampingan dan peningkatan kapasitas (Technical Assistance and Capacity Building / TACB) oleh negara maju bagi negara berkembang dan LDC group untuk memastikan transisi menuju pengelolaan perikanan berjalan dengan baik sehingga disiplin subsidi perikanan dapat dilaksanakan dengan lancar.
Terkait pendefinisian distant water fishing, masih belum disepakati oleh seluruh anggota, dimana terdapat dua pandangan pendefinisian yaitu: a) batasan distant water fishing adalah batas yurisdiksi negara ditambah dengan FAO Major Fishing Area(s) terdekat dari negara tersebut; dan b) batasan distant water fishing adalah batas yurisdiksi negara ditambah dengan wilayah Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs).
Dalam diskusi tematik terkait definisi small scale fisheries, Australia, Selandia Baru dan Norwegia mengusulkan sebuah bridging language dimana pengecualian pada kegiatan perikanan dalam kategori “low income, resource poor and livelihood fishing” diberikan secara penuh tanpa batasan waktu dan geografis. Usulan ini diterima dengan baik oleh sebagian besar negara berkembang walaupun dengan catatan bahwa definisi kategori yang digunakan masih belum sesuai dengan kenyataan di lapangan bagi negara berkembang. Meskipun mendapatkan tanggapan yang cukup positif, negara-negara pengusul menarik kembali usulannya dan hal ini sangat disayangkan oleh sebagian besar negara berkembang termasuk Indonesia. Adapun Jepang juga mengkritisi bahwa bridging language yang diusulkan tidak akan menghasilkan situasi yang diinginkan, lebih baik menggunakan pengecualian geografis hingga batas yurisdiksi atau Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Pada sesi deep dive juga didapati bahwa penerapan pendekatan two-tiered approach masih memiliki pertentangan dari negara maju dengan negara berkembang dan LDCs. Negara berkembang dan LDCs melihat bahwa two-tiered approach dapat diterapkan dengan tambahan ketentuan yang diperkuat selain notifikasi, sehingga pemberian subsidi bagi kriteria tertentu masih memungkinkan dilakukan oleh negara berkembang dan LDCs, namun tetap membatasi subsidi oleh anggota pemberi subsidi dengan jumlah besar (big subsidizing members). Berlawanan dengan hal tersebut, negara maju menganggap bahwa two tiered approach tidak dapat diterima karena belum adanya referensi data yang valid dalam penentuan big subsidizing members.
Di sela-sela rangkaian pertemuan Fish Week Kedelapan, Indonesia melakukan pertemuan bilateral dengan India, Australia, grup negara berkembang dan LDC, serta Malaysia. beberapa isu yang berkembang, pembatasan wilayah subsidi berdasarkan yurisdiksi, subsidi tetap dapat diberikan kepada kelompok low income, or resource poor and livelihood di mana saja. Indonesia menyatakan lebih mudah menerima kriteria small scale fisheries dengan batasan GT kapal. Indonesia merespon bahwa harus menentukan kelompok mana yang memenuhi kriteria low income resource dan livelihood.
Negara berkembang berupaya mendorong penggunaan kriteria small scale and artisanal fisheries sebagai ganti dari low income resource and livelihood karena istilah yang lebih umum dikenal adalah small scale and artisanal fisheries. Pertemuan pada akhirnya berupaya menyusun joint statement / pernyataan bersama, namun Indonesia dalam posisi mendukung secaa langsung posisi tersebut.
Meskipun demikian, Direktur Jenderal WTO dan Chair menyimpulkan secara positif proses perundingan yang telah berlangsung. Chair akan melaporkan hasil perundingan peraturan subsidi perikanan ke Trade Negotiations Committee pada tanggal 12 Desember 2023. Selain itu, terdapat kemungkinan isu perundingan subsidi perikanan untuk diangkat pada mini-ministerial meeting yang akan menentukan apakah perundingan subsidi perikanan dapat difinalisasi pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO ke-13 tanggal 26-29 Februari 2024 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.
0 COMMENTS