cfi-indonesia.id. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap gelar konsultasi publik terkait Rencana Pengelololaan Perikanan (RPP) Ikan Terbang. Kegiatan ini merupakan rangkaian penyusunan RPP Ikan Terbang yang telah dilaksanakan sejak tahun 2021. Konsultasi publik RPP Ikan terbang ini dilaksanakan secara hybrid luring dan daring melalui zoom meeting di Swiss-bell Hotel Makassar (28-29 Mei 2024). Seluruh rangkaian kegiatan terkait RPP Ikan Terbang difasilitasi penuh lewat pendanaan program GEF 6 CFI Indonesia Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM) In Eastern Indonesia (Fisheries Management Area (FMA) 715,717, 718) Components A, B and D.
Konsultasi publik ini bertujuan untuk mensosialisasikan rancangan RPP Ikan Terbang di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) yang telah diperbaharui kepada stakeholders perikanan yang secara khusus bergerak di pengelolaan Ikan Terbang itu sendiri. Kegiatan ini diharapkan dapat menghasilkan output dan outcome yaitu berupa dokumen final yang dapat diproses legalitasnya.
Pembukaan Kegiatan Konsultasi Publik RPP Ikan Terbang oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan Dr. M. Ilyas., S.T., M.Sc didampingi Perwakilan Direktorat PSDI Dr. Fery Sutyawan selaku Katimja Pengelolaan SDI LTPK dan Kelembagaan Perairan Laut dan Prof Lasara Peneliti Perikanan Institut Teknologi Kelautan Buton, di Swiss-bell Hotel Makassar (29/05/2024).
Pada kegiatan ini Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan Dr. M. Ilyas., S.T., M.Sc turut hadir serta menyampaikan sambutan. Dalam sambutannya, Ilyas menyampaikan bahwa Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan mendukung pengelolaan perikanan dari pemerintah pusat yang berbasis WPPNRI dan termasuk ikan terbang.
“Beberapa kali terjadi kasus penangkapan nelayan ikan terbang oleh pengawas karena tidak lengkap persuratan nelayan tersebut. Selama ini nelayan ikan terbang berani untuk tetap melaut walaupun surat tidak lengkap karena nelayan beranggapan bahwa penangkapan ikan terbang hanya dilakukan sekali dalam setahun. Sehingga untuk melakukan riset terkait pengelolaan perikanan itu perlu mempertimbangkan kondisi sosial nelayan, memperhatikan bagaimana kesejahteraan nelayan” ujar Ilyas dalam sambutannya.
Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan dalam kesempatan ini diwakili oleh Dr. Fery Sutyawan selaku Katimja Pengelolaan SDI LTPK dan Kelembagaan Perairan Laut menyampaikan pengantar pertemuan Konsultasi Publik. Menurut Fery RPP Ikan Terbang sebelumnya telah ditetapkan pada tahun 2016 melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 69/KEPMEN-KP/2016. Dokumen ini berlaku untuk jangka waktu 5 tahun, sehingga perlu direviu. Disisi lain, berdasarkan kajian yang telah dilakukan, diketahui bahwa sumber daya ikan terbang semakin menurun. “Konsultasi publik ini diharapkan dapat menghimpun masukan untuk perbaikan dokumen RPP Ikan Terbang sebelum disahkan” ungkap Fery.
Pemaparan dokumen final Publik RPP Ikan Terbang oleh Dr. Fery Sutyawan selaku Katimja Pengelolaan SDI LTPK dan Kelembagaan Perairan Laut Direktorat PSDK DJPT, di Swiss-bell Hotel Makassar (29/05/2024).
Fery Sutyawan memaparkan Dokumen Final RPP Ikan Terbang di WPPNRI yang telah direviu selama 2 tahun. Menurutnya pengelolaan perikanan ikan terbang diperlukan dikarenakan adanya indikasi penangkapan berlebih ikan terbang di perairan Selat Makassar dan Laut Flores. Selain itu telur ikan terbang juga memiliki nilai ekonomis tinggi dan komoditas ekspor menjadi peluang bisnis menjanjikan dan tentunya berdampak terhadap peningkatan eksploitasi terutama telur ikan terbang.
Kegiatan ini menghadirkan narasumber yang berkompenten membahas pengelolaan ikan terbang. Selain Dr. Fery Sutyyawan beberapa narasumber lain diantaranya, Dr. Muh. Natsir Perwakilan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), peneliti Ikan Terbang Dr. Friesland Tuapetel (Universitas Patimura Ambon), Prof. Najamudin (Universitas Hasanudin Makassar), Dr. Paulus Boli (Universitas Papua Manokwari), Prof Lasara (Institut Teknologi Kelautan Buton).
Ikut hadir pada kegiatan tersebut, selain Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, Papua Barat, juga beberapa Dinas Perikanan Kabupaten, Biro Hukum KKP, Setditjen Perikanan Tangkap, Pusat Data Statistik dan Informasi, Pusat Riset Perikanan KKP, Direktorat KAPI, UPT DJPT, perwakilan Nelayan dan pelaku usaha Ikan Terbang serta beberapa mitra dan stakeholder lainnya.
Konsultasi publik berupaya menjaring aspirasi dan tanggapan stakeholder terkita pengelolaan ikan terbang. Beberapa isu penting mengemuka pada pertemuan tersebut diantaranya dari praktisi nelayan ikan tebang Syahrul mempertanyakan alasan mengapa bale-bale hanya diberikan izin di jalur I dan II sedangkan penangkapan ikan terbang banyak di jalur III, serta keluhannya terkait kesulitan mendapatkan izin dan rumit dengan banyaknya penggunaan aplikasi.
Diskusi menjaring umpan balik stakeholder dalam rangka penyempurnaan dokumen final RPP Ikan Terbang di Swiss-bell Hotel Makassar (29/05/2024).
Menurut Umamah perwakilan Direktorat KAPI DJPT KKP, Kajian terhadap API dilakukan di tahun 2022 sebagai tindak lanjut reviu RPP Ikan Terbang. Berdasarkan hasil kajian dan telaah teknis tersebut, presentase telur ikan terbang sebesar 88,3% berada di 12 mil untuk nelayan Buton, hanya sekitar 12% mil yang menangkap di atas 12 mil. Kesepakatan saat penyusunan, hanya di jalur I dan II. Namun saat penyusunan kajian tersebut belum diperkenalkan migrasi pusat.
Senada dengan hal tersebut Boli menambahkan bahwa telur ikan terbang mengikuti arus sehingga terkadang sampai di atas 12 mil. Selain itu penangkapan telur ikan terbang berbeda dengan penangkapan ikan biasa karena penangkapannya mengikuti arah telur ikan terbang yang juga mengikuti arus.
Perwakilan DKP Sulawesi Tenggara Muhammad Iman Bontji menyampaikan kesulitan nelayan penangkan telur ikan terbang dari daerahnya. Kebijakan terkait ijin menangkap yang belum sesuai. Kemudian jika ingin menggunakan izin daerah, maka harus pindah ke lokasi penangkapan seperti Maluku, dan melakukan migrasi ke pusat.
Permasalahan perizinan ini bukanlah hal yang hanya terjadi pada daerah penangkapan ikan terbang melainkan berlaku hampir di semua lokasi penangkapan. Nelayan diharuskan memilih antara migrasi izin pusat atau melakukan penangkapan sesuai dengan jalurnya masing-masing.
Permasalah lainnya adalah adalah data produksi ikan terbang dan telurnya. Sebelumnya pada perbaikan dokumen final RPP Ikan Terbang bulan Mei lalu, Moh Natsir dari BRIN menyampaikan pentingnya sains dalam perumusan kebijakan dan pelaksanaan transformasi tata kelola perikanan ikan terbang. Beberapa catatan titik krusial data terkait ikan terbang antara lain, belum tersedianya data-data runut waktu terkait ikan terbang, data parameter biologi ikan terbang masih menggunakan hasil-hasil penelitian sebelumnya, serta infrastuktur pendataan ikan terbang belum tersedia dengan baik.
Pada akhir kegiatan konsultasi publik yang cukup dinamis tersebut berhasil menjaring umpan balik stakeholder dalam rangka penyempurnaan regulasi dan kebijakan dengan Rencana Pengelolaan Perikanan Ikan Terbang lebih baik.
0 COMMENTS