cfi-indonesia.id, Jakarta (22/11) - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut cq. Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terus berupaya memperkuat kerjasama dan sinergi lintas sektor untuk mendukung perlindungan dan pengakuan Masyarakat adat. Hal ini diungkap dalam pengantar selama pelaksanaan kegiatan identifikasi dan pemetaan di wilayah Masyarakat Ohoi Ohoirenan, Maluku Tenggara yang berlangsung pada tanggal 25 – 31 Oktober 2023 lalu. Kegiatan ini difasilitasi melalui pendanaan hibah GEF 6 CFI Indonesia “The Ecosystem Approach To Fisheries Management (EAFM) In Eastern Indonesia (Fisheries Management Area (FMA) - 715,717 & 718) Components A, B, And D”, kerjasama KKP dan WWF US.
Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam keterangannya di Jakarta menyampaikan bahwa Kegiatan identifikasi dan pemetaan masyarakat adat Ohoi Ohoirenan merupakan langkah awal untuk sebuah penetapan Masayarakat Hukum Adat (MHA). Muhammad Yusuf menambahkan bahwa perlindungan dan pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat ini sangat penting, terutama bila dikaitkan dengan kebhinekaan adat kebudayaan dan kesatuan bangsa.
“Pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat di Indonesia telah memiliki dasar hukum yang kuat sebagaimana tertuang dalam Pasal 18b Ayat 2 pada amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang ke-2 dimana dinyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur didalam Undang-Undang”, ujar Muhammad Yusuf.
Muhammad Yusuf berharap proses identifikasi ini menghasilkan output sebagai bentuk perhatian khusus dari pemerintah dalam memberdayakan dan menyejahterakan MHA berbasis kearifan lokal dan potensi sumberdaya alam secara optimal di wilayah Ohoi Ohoirenan
Peserta kegiatan FGD dalam rangka identifikasi dan pemetaan Masyarakat Hukum Adat di wilayah pesisir dan pulau kecil Kei Kecil Maluku Tenggara
Kegiatan Identifikasi dan pemetaan yang didukung oleh dana hibah GEF-6 (WPPNRI 718) ini bertujuan untuk pengumpulan dan penyusunan data masyarakat adat Ohoirenan dalam rangka perlindungan dan pengakuan sebagai dukungan untuk program Kampung Nelayan Maju (Kalaju) yang juga merupakan program prioritas KKP.
Beberapa tahapan yang dilaksanakan meliputi koordinasi dengan pemangku kepentingan terkait (GEF-6, Dinas Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara, Perangkat Ohoi Ohoirenan Kecamatan Kei Besar Selatan), dan pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD) dengan masyarakat Ohoi Ohoirenan Kecamatan Kei Besar Selatan sebagai langkah awal penggalian data awal asal-usul Masyarakat Ohoi Ohoirenan.
Camat Kei Besar Selatan, Jakob P. Ubra mengapresiasi langkah KKP dalam pelaksanaan Identifikasi dan Pemetaan ini. Terkait adat Ohoi Ohoirenan, Jacob mengatakan bahwa leluhur mereka mengenal istilah hukum “Dello” dimana siapa yang kuat dia yang boleh menguasai baik wilayah darat maupun wilayah laut, dengan begitu leluhur wilayah Kei dapat menjaga dan mengelola sehingga lahirlah hukum “Larwul Ngabal” yang menjadi dasar hukum Masyarakat adat Ohoirenan saat ini”.
Sejalan dengan itu, lebih lanjut Raja Lo Ohoite, M. Ekan Refra dalam pelaksanaan FGD menjelaskan bahwa tugas pokok dari struktur adat di Ohoi Ohoirenan yaitu Orang Kay (Sebagai kepala pemerintahan di Ohoi), Sowa (Sebagai pengganti orang kay apabila berhalangan) wakil, Saniri (Sebagai kepala bidang memiliki tugas masing seperti menjalankan ritual pinang sirih) dab Marin (Sebagai yang menyampaikan informasi)”.
Selain FGD, kegiatan identifikasi dan pemetaan ini juga menggunakan pola Participant Observation yaitu observasi langsung sekaligus menjadi partisipan. Melalui metode partisipan, tim identifikasi ikut berperan langsung didalam kegiatan-kegiatan Masyarakat adat. Salah satunya adalah kegiatan meti mencari ikan di pesisir pantai pada saat air surut (meti).
Salah satu dasar dalam penetapan masyarakat hukum adat adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang pedoman, pengakuan dan perlindungan masyarakat Hukum Adat. Sementara pelaksanaannya merujuk pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 8 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penetapan Wilayah Kelola Masyarakat Hukum Adat dalam Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat sejalan dengan seruan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono dalam berbagai kesempatan, yaitu perlunya mendorong dan memprioritaskan keberlanjutan ekologi laut seiring dengan pemanfaatan laut secara optimal baik dari aspek ekonomi maupun sosial budaya sehingga tak hanya generasi mendatang dapat merasakan manfaat sumber daya kelautan dan perikanan.
Kegiatan yang serupa digelar di lokasi site project GEF 6 lainnya, Kabupaten Seram Bagian Timur Provinsi Maluku (WPPNRI 715) dan Kabupaten Teluk Wondama Provinsi Papua Barat (WPPNRI 717). Diharapkan kegiatan ini berhasil mengidentifikasi dan merekomendasikan penetapan MHA di ketiga lokasi tersebut.
0 COMMENTS